Senin, 31 Maret 2014

Syubhat Kaidah: Seandainya Amalan Tersebut Baik, Tentu Mereka (Para Sahabat) Sudah Mendahului Kita Untuk Melakukannya




Syubhat Kaidah: Seandainya Amalan Tersebut Baik, Tentu Mereka (Para Sahabat) Sudah Mendahului Kita Untuk Melakukannya
Sering kali kaum anti bid’ah hasanah (baca: Salafi Wahabi) berhujjah dengan ungkapan :
وأما أهل السنة والجماعة فيقولون قي كل فعل وقول لم يثبت عن الصحابة رضي الله عنهم هو بدعة لأنه لو كان خيرا لسبقونا إليه، لأنهم لم يتركوا خصلة من خصال الخير إلا وقد بادروا إليها
“Adapun ahli sunnah wal jamaah, mereka berkata pada setiap perbuatan dan perkataan yang tidak sabit dari sahabat (semoga Allah meridhai mereka) adalah bid’ah karena jika itu baik sudah pasti mereka mendahului kita dalam melakukannya karena mereka tidak meninggalkan satu jenis pun dari jenis-jenis perbuatan baik melainkan mereka akan bersegera melakukannya.” (Tafsir Ibn Kathir, jld. 4, hlm. 190)
Mereka berargumentasi bahwa segala perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi dan ulama salaf, maka perbuatan itu dianggap bid’ah dholalah.[1] Lebih jelas sebelumnya Ibnu Taimiyyah (w 728 H) juga telah mengatakan :
فإن هذا لم يفعله السلف مع قيام المقتضي له ، وعدم المانع فيه لو كان خيراً ، ولو كان خيراً محضاً أو راجحاً لكان السلف – رضي الله عنهم- أحق به منا فإنهم كانوا أشد محبة لرسول الله صلى الله عليه وسلم وتعظيماً له منا ،وهم على الخير أحرص
“Perayaan seperti ini seandainya baik belum pernah dilakukan oleh para salaf, meski ada peluang untuk melakukannya dan tidak ada penghalang tertentu bagi mereka untuk melakukannya. Seandainya perayaan itu murni kebabaikan atau unggul, tentu para salaf lebih berhak melakukannya daripada kita, karena mereka adalah orang-orang yang jauh lebih cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lebih mengagungkannya. Mereka lebih semangat kepada kebaikan…”[2]
Jawaban :
Sebenarnya argumentasi mereka telah terbantahkan oleh para ulama besar Ahlus Sunnah sebelumnya di antaranya Imam al-Qurthubi (w 671 H) yang mengatakan :
كل بدعة صدرت من مخلوق فلا يخلو أن يكون لها أصل في الشرع أولا، فإن كان لها أصل كانت واقعة تحت عموم ما ندب الله إليه وخص رسوله عليه، فهي في حيز المدح وإن لم يكن مثاله موجودا كنوع من الجود والسخاء وفعل المعروف، فهذا فعله من الافعال المحمودة، وإن لم يكن الفاعل قد سبق إليه
“ Setiap bid’ah yang datang dari makhluk, maka tidak terlepas dari dua perkara yakni adakalanya memiliki asal dalam syari’at atau tidak ada asalnya. Jika memiliki asal dalam syari’at, maka masuk dalam keumuman apa yang Allah dan Rasul-Nya anjurkan, perkara ini masuk pujian (baik), walaupun belum ada contoh sebelumnya semisal merk (macam/jenis) dari sifat kedermawanan, kemurahan dan pebuatan ma’ruf, maka ini semua ini jika dilakukan adalah termasuk perbuatan terpuji, meskipun belum ada contoh orang yang melakukannyasebelumnya[3]
Imam al-Qurthubi telah membuat rumusan sebagaimana rumusan mayoritas ulama Ahlus sunnah wal Jama’ah yakni:
  1. Segala perkara baru (bid’ah) itu ada yang berdasarkan ushul dalam syari’at dan ada yang tidak.
  2. Perkara baru yang berlandaskan ushul, maka masuk pada keumuman apa yang telah dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan ini perkara baru yang terpuji, meskipun belum ada contoh orang yang melakukannya sebelumnya.
Jelas hujjah Imam al-Qurthubi ini mematahkan argumentasi Ibnu Katsir dan Ibnu Taimiyyah di atas.
Lebih tegas lagi Imam asy-Syafi’i mengatakan :
كل ما له مستند من الشرع فليس ببدعة ولو لم يعمل به السلف
“ Setiap perkara yang memiliki landasan dari syari’atnya, maka bukanlah bid’ah walaupun tidak dilakukan oleh ulama salaf “.[4]
Kaidah-kaidah mulia yang telah ditetapkan oleh mayoritas ulama ini, telah sesuai dengan dalil-dalil al-Quran dan Hadits. Dan sebaliknya kaidah yang diciptakan Ibnu Taimiyyah dan para pengikutnya tidak sesuai dengan al-Quran dan Hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana akan kami jelaskan dan uraikan..
Dalil al-Quran dan Sunnah:
Allah Subhanahu wa Ta’aala berfirman:
وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا
“Apa yang Rasulullah bawa kepadamu, maka ambillah dan apa yang Rasulullah larang kepadamu maka berhentilah“.
Perhatikanlah, Allah tidak mengatakan “Dan apa yang Rasulullah tidak lakukan, maka jangan kamu lakukan “
Maka dalam ayat ini jelas menunjukkan bahwasanya apa yang Nabi tinggalkan dan tidak dilakukan, bukan menjadi dalil pengharaman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
ما أمرتكم به فأتوا منه ما استطعتم وما نهيتكم عنه فاجتنبوه
“Apa yang aku perintahkan kepadamu, maka lakukanlah semampumu, dan apa yang aku larang padamu maka jauhilah “ (HR. Bukhari & Muslim).
Nabi tidak mengatakan, “Apa yang aku tinggalkan atau apa yang aku tidak lakukan, maka jauhilah“, ini jelas menunjukkan bahwasanya semata-mata tidak dilakukan oleh Nabi bukan berfaedah menjadi hukum pelarangan atau pengharaman.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
ما أحل الله في كتابه فهو حلال، وما حرم فهو حرام، وما سكت عنه فهو عفو، فاقبلوا من الله عافيته، فإن الله لم يكن لينسى شيئاً. وتلا: وما كان ربك نسيا
“Apa yang Allah halalkan di dalam kitab-Nya, maka itu halal, dan apa yang Allah haramkan maka itu haram, dan apa yang Allah tidak jelaskan, maka itu dimaafkan (diringankan), maka terimalah keringan itu dari Allah, karena sesungguhnya Allah tidak melupakan sesuatu pun dan Nabi membaca ayat, “Dan tidaklah Tuhanmu itu pelupa“. (Hadits ini ditakhrij oleh ad-Daruquthni dan al-Bazzar, dan disahihkan oleh al-Hakim juga oleh adz-Dzahabi. Ibnu Hajar al-Haitsami juga telah menyebutkan di dalam Majma’ az-Zawaid dan berkata , “Para perawinya tsiqah“).
Disebutkan dalam Sahih al-Bukhari :
أشار سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه على سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه بجمع القرآن في صحف حين كثر القتل بين الصحابة في وقعة اليمامة فتوقف أبو بكر وقال:” كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟”  فقال له عمر:” هو والله خير.” فلم يزل عمر يراجعه حتى شرح الله صدره له وبعث إلى زيد ابن ثابت رضي الله عنه فكلفه بتتبع القرآن وجمعه قال زيد:” فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما كلفني به من جمع القرآن.” قال زيد:” كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم.” قال:” هو والله خير” فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما
“Umar bin Khaththab memberi isyarat kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf ketika melihat banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang Yamamah. Tapi Abu Bakar diam dan berkata, “Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Maka Umar menjawab, “Demi Allah itu suatu hal yang baik“. Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kemudian Abu bakar memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran, maka Zaid berkata, “Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul SAW tidak melakukannya?” Maka Abu bakar menjawab, “Demi Allah itu suatu hal yang baik“. Abu Bakar terus mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sebgaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar “.
Coba perhatikan ucapan Abu Bakar dan Zaid: “Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam?”, ini menunjukkan bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melakukan semua hal yang baik, sehingga mereka mengatakan Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melakukannya, namun bukan berarti itu buruk. Perhatikan kembali pengakuan Umar dan Abu Bakar “Demi Allah ini suatu hal yang baik “, Ini menunjukkan bahwa tidak semua yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak lakukan itu buruk.
Para ulama salaf pun mengakui bahwa apa yang tidak pernah dilakukan sahabat, tidaklah selalu bid’ah yang sesat. Imam Malik pernah ditanya tentang qunut witir, dan beliau pun mengatakan bahwa itu tidak pernah dilakukan sahabat akan tetapi itu baik:
روي محمد بن يحيى عن مالك في المدونة انه قال عن قنوت الوتر : انه لحسن وهو محدث لم يكن في زمن ابي بكر وعمر وعثمان
 “Muhammad bin Yahya meriwayatkan dari Malik dalam al-Mudawwanah. Sesungguhnya Imam Malik mengatakan tentang Qunut Witir: “Bahwasanya Qunut Witir itu baik dan itu adalah muhdats (perkara baru) yang tidak ada pada masa Abu Bakar, Umar, dan Utsman“.[5]
Imam asy-Syafi’i melafazkan Niat sholat padahal Nabi dan sahabat tidak pernah melakukannya:
أخبرنا ابن خزيمة ، ثنا الربيع قال : « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصلاة قال : بسم الله ، موجها لبيت الله مؤديا لفرض الله عز وجل الله أكبر »
 “Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi’, ia berkata: ”Imam Syafi’i ketika akan masuk dalam Shalat beliau mengucapkan: “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban kepada Allah. Allahu Akbar.”[6]
 Urwah bin Zubair ketika hendak makan selalu mengucapkan:
سبحانك ما احسن ما تبتلينا سبحانك ما احسن ما تعطينا ربنا ورب آبائنا الاولين
“Maha suci Engkau, alangkah baiknya apa yang telah Engkau uji pada kami, dan alangkah baiknya apa yang telah Engkau berikan pada kami wahai Tuhan kami Tuhan para datuk kami yang awal“.[7]
Doa ini tidak pernah diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.
Ma’ruf al-Kurkhi melazimkan shalat setiap hari Sabtu 100 raka’at, dan di setiap raka’atnya membaca surat al-Ikhlash 10 kali.[8] Penentuan-penentuan hari dan bacaan dalam ibadah semacam ini, tidak pernah dilakukan Nabi dan para sahabatnya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh kasus lainnya.
Para ulama Ushul Fiqih mendefinisikan sunnah Nabi dengan perbuatan, ucapan dan persetujuan Nabi dan tidak memasukkan at-Tark (meninggalkannya Nabi atas suatu perkara), karena at-Tark bukanlah suatu dalil. Dan para ulama Ushul Fiqih pun menjadikan dalil-dalil hukum yang dijadikan sebagai hujjah adalah; al-Quran, as-Sunnah, al-Ijma’ dan al-Qiyas, dan mereka berbeda pendapat tentang Hadits Mursal, Ucapan Sahabat, dan bahkan diantara mereka ada yang memasukkan al-Istishhab, al-Istihsan, ‘amal ahlul Madinah (perbuatan penduduk Madinah) dan Sadd adz-Dzaraa’i (menutup perantara). Dan tak ada satupun ulama memasukkan at-Tark, ini menunjukkan bahwa at-Tark bukanlah sebuah dalil dan sumber di dalam penerapan hukum.
Kemudian at-Tark ini masih mengandung beberapa kemungkinan yang pengharaman tidak masuk di dalamnya, sedangkan kita tahu ada suatu kaidah yang sudah masyhur yaitu: ”Sesuatu yang masih ada kemungkinan-kemungkinannya, maka gugur untuk dijadikan sebagai dalil“.
Sayyiduna Umar bin Khaththab pernah melarang sesuatu dengan alasan Nabi tidak pernah melakukannya, namun setelah beliau tahu hal itu salah, maka beliau segera merujuk (menarik kembali) ucapannya itu, perhatikan riwayat berikut ini :
وأخرج سعيد بن منصور وأبو يعلى بسند جيد عن مسروق قال: ركب عمر بن الخطاب المنبر ثم قال: أيها الناس ما إكثاركم في صداق النساء وقد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم وأصحابه وإنما الصدقات فيما بينهم أربعمائة درهم فما دون ذلك ولو كان الإكثار في ذلك تقوى عند الله أو مكرمة لم تسبقوهم إليها فلا أعرفن ما زاد رجل في صداق امرأة على أربعمائة درهم. ثم نزل فاعترضه امرأة من قريش فقالت له: يا أمير المؤمنين نهيت الناس أن يزيدوا النساء في صدقاتهن على أربعمائة درهم؟ قال: نعم. فقالت: أما سمعت ما أنزل الله يقول {وآتيتم إحداهن قنطاراً}؟ فقال: اللهم غفرانك. كل الناس أفقه من عمر. ثم رجع فركب المنبر فقال: يا أيها الناس إني كنت نهيتكم أن تزيدوا النساء في صدقاتهن على أربعمائة درهم فمن شاء أن يعطي من ماله ما أحب
“Dikeluarkan oleh Sa’id bin Manshur dan Abu Ya’la dengan sanad yang Jayyid dari Masruq, ia berkata, “Umar bin Khaththab suatu hari menaiki mimbar kemudian berkata, “Wahai manusia, kenapa kalian memberikan mahar kepada wanita begitu banyak? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya hanya memberikan 400 dirham dan di bawahnya. Kalau seandainya melebihi itu adalah sebuah ketaqwaan atau kemuliaan di sisi Allah, kenapa kalian mendahului mereka atas hal ini?, aku sungguh tidak mengetahui melebihi mahar wanita dari 400 dirham“. Kemudian beliau turun dan ditegur oleh seorang wanita dari Quraisy dengan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, apakah kamu melarang manusia untuk melebihi 400 dirham dari mahar wanita ? beliau menjawab “ Ya “, lalu wanita itu berkata, “ Apakah kamu tidak pernah mendengar firman Allah Ta’aala: “Dan kalian memberikan salah satu wanita itu dengan sejumlah qinthar (jumlah yang sangat banyak)“. Maka Umar bin Khattab mengatakan, “Ya Allah ampunilah aku. Semua manusia lebih paham daripada Umar“. Kemudian beliau kembali dan menaiki mimbar kemudian berkata, “Wahai manusia, sebelumnya aku telah melarang kalian memberikan kepada wanita tidak lebih dari 400 dirham, maka barangsiapa yang berkehendak memberikan hartanya semaunya kepada wanita, maka lakukanlah “.[9]
Perhatikan kisah Sayyidina Umar tersebut, beliau melarang dengan berhujjah bahwa Nabi dan para sahabat lainnya tidak pernah melakukan, akan tetapi ketika beliau diberitahukan bahwa hal itu salah, maka beliau segera merujuk ucapan sekaligus hujjahnya tersebut. Karena jelas, melarang atau mengharamkan sesuatu  dengan berdalil atau berhujjah dengan hanya melihat Nabi dan sahabatnya tidak melakukan, tidaklah sah, akan tetapi wajib melihat nash terlebih dahulu, apakah ada nash yang melarangnya atau pun yang membolehkannya. Sepatutnyalah mereka yang menolak eksistensi bid’ah hasanah, merujuk kembali hujjah mereka, karena mereka tidak lebih mulia dari Sayyidina Umar bin Khattab yang dijuluki dengan al-Faruuq yakni seseorang yang mampu membedakan antara yang Haq dan yang Bathil.
Adapun alasan Ibnu Taimiyyah yang mengatakan bahwa jika itu kebaikan sudah pasti dahulu sahabat akan melakukannya karena mereka paling semangat atas semua kebaikan.
Maka kami jawab, bahwa alasan ini tidak tepat sama sekali, karena tidak semua kebaikan terwujud dengan inovasi lainnya saat itu, dan hal ini bukan suatu kelaziman. Karena terkadang suatu amalan yang tidak dilakukan oleh sahabat pada masa itu lebih afdhal, akan tetapi terkadang pada masa sekarang ini melakukannya lebih afdhal. Berikut bukti-buktinya:
Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah melarang wanita pergi ke masjid, beliau bersabda :
لا تمنعوا النساء من الخروج إلى المساجد
“Jangan kalian larang para wanita untuk keluar menuju masjid“. (HR. Muslim). Akan tetapi ternyata pada masa Sayyidah Aisyah Radhiallahu ‘anha keadaannya malah berbalik, sehingga beliau berkata:
لو أن رسول الله صلى الله عليه وسلم رأى ما أحدث النساء لمنعهن المسجد كما منعت نساء بني إسرائيل
“Seandainya Rasulullallah shollallohu ‘alaihi wa sallam melihat apa yang terjadi pada kaum wanita, sungguh beliau akan melarang wanita mendatangi masjid, sebagaimana telah dilarang wanita-wanita Bani Israil “. (HR. Muslim).
Ini membuktikan bahwa kebaikan tidak perginya wanita ke masjid, tidak afdhal di masa Nabi, dan menjadi lebih afdhal di masa Sayyidah Aisyah. Demikian juga kasus pengumpulan al-Quran menjadi satu mushaf, di masa Nabi hal ini tidak terpikirkan dan bahkan Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit sempat menolak dengan alasan Nabi tidak pernah melakukannya, akan tetapi setelah Allah melapangkan dada mereka, maka Abu Bakar dan Zaid bin Tsabit menerima perkara baru yang baik ini. Tidak perginya wanita ke masjid dan pengumpulan al-Quran, merupakan kebaikan yang tidak pernah dilakukan Nabi, akan tetapi hal ini tetap dilakukan karena jelas bahwa tidak melakukannya Nabi atau sahabat bukanlah dalil pelarangan atau pengharaman atas suatu perkara.
Kasus Ibnu Baz (Ulama Wahabi):
Ketika Ibn Baz ditanya tentang bagaimana hukum berdo’a khatam al-Quran di dalam shalat, oleh Ibn Baz dijawab :
 وكان أنس رضي الله عنه إذا أكمل القرآن جمع أهله ودعا رضي الله عنه في خارج الصلاة، أما في الصلاة فلا أحفظ عنه شيئاً في ذلك ولا عن غيره من الصحابة لكن ما دام يفعله في خارج الصلاة، فهكذا في الصلاة، لأن الدعاء مشروع في الصلاة وليس بأمر مستنكر. ولا أعلم عن السلف أن أحداً أنكر دعاء ختم القرآن من داخل الصلاة، كما أنني لا أعلم من أنكره خارج الصلاة، وهذا هو الذي يعتمد عليه أنه معلوم عند السلف وقد درج عليه أولهم وآخرهم، فمن قال: إنه منكر فعليه بالدليل
“Konon Anas Radhiallahu ‘anhu jika telah menyempurnakan al-Quran beliau mengumpulkan keluarganya dan berdoa di luar sholat. Adapun di dalam sholat, maka aku tidak menghafal (tidak ingat) sedikit pun dari hal itu dan juga aku tidak mengetahui dari para sahabatnya, akan tetapi selama boleh dilakukannya di luar sholat, maka demikian juga boleh dilakukan di luar sholat. Karena doa itu disyari’atkan di dalam sholat dan bukanlah perkara yang diingkari. Dan aku pun tidak mengetahui seorang pun dari ulama salaf yang mengingkari doa khatam al-Quran di dalam sholat, sebagaimana aku tidak mengetahui seorang pun yang mengikarinya jika dilakukan di luar sholat. Inilah yang maklum yang dipegang bagi ulama salaf dan hal ini (berdoa khatam Quran di luar sholat) telah menjadi rutinan sejak awal hingga akhir salaf, maka barangsiapa yang mengingkarinya, wajib ia menampilkan dalilnya “.[10]
Coba perhatikan, Ibn Baz meyakini bahwa amalan berdoa khatam al-Quran di dalam sholat tidak pernah dilakukan oleh sahabat dan bahkan ulama salaf, maka seharusnya (sewajibnya) Ibn Baz mengatakan hal itu adalah bid’ah, karena jika membaca doa khatam al-Quran itu suatu kebaikan, sudah pasti para sahabat dan ulama salaf telah lebih dahulu melakukannya… Inilah seharusnya yang mereka katakana, karena ini kaidah mereka. Tapi ternyata Ibn Baz membuat Qiyas dalam suatu ibadah dengan diperbolehkannya doa di luar sholat tanpa dalil satu pun. Bukankah semua ini mementang kaidah mereka sendiri??
Jika acara Maulid Nabi dituntut dalil dari Nabi, sahabat dan ulama salaf, lalu kenapa perkara bid’ah di atas tidak dituntut dalil dari Nabi, sahabat dan ulama salaf?? Kemana kaedah mereka ini “Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya“?? Fa laa haula wa laa quwwata illaa billah….
Oleh: Ibnu Abdillah Al-Katibiy, Ahlussunnah wal Jama’ah Research Group. Kota Santri, 30-03-2014.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar